Pengertian Sengketa Menurut Para
Ahli
Dalam
kamus bahasa Indonesia sengketa adalah pertentangan atau konflik. Konflik
berarti adanya oposisi, atau pertentangan antara kelompok atau organisasi
terhadap satu objek permasalahan.
Menurut Winardi,
-
Pertentangan
atau konflik yang terjadi antara individu – individu atau kelompok – kelompok
yang mempunyai hubungan atau kepentingan yang sama atas suatu objek
kepemilikan, yang menimbulkan akibat hukum antara satu dngan yang lain.
Menurut Ali Achmad,
-
sengketa
adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang
berbeda tentang suatu kepemilikan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat
hukum antara keduanya.
Sengketa dapat di selesaikan dengan
berbagai cara dintara nya :
1.
Negosiasi
Proses yang melibatkan upaya
seseorang untuk mengubah (atau tak mengubah) sikap dan perilaku orang lain.
2.
Mediasi
Proses penyelesaian sengketa melalui
proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator yang tidak memiliki
kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian. Ciri utama proses
mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses musyawarah atau
konsensus.
3.
Arbitrase
Istilah arbitrase berasal dari kata
“Arbitrare” (bahasa Latin) yang berarti “kekuasaan untuk menyelesaikan
sesuatu perkara menurut kebijaksanaan”.
Berdasarkan pengertian arbitrase
menurut UU Nomor 30 Tahun 1990 diketahui bahwa.
a. Arbitrase merupakan suatu perjanjian
;
b.
Perjajian
arbitrase harus dibuat dalam bentuk tertulis;
c.
Perjanjian
arbitrase tersebut merupakan perjanjian untuk menyelesaikan sengketa untuk
dilaksanakan di luar perdilan umum.
Dalam
dunia bisnis, banyak pertimbangan yang melandasi para pelaku bisnis untuk
memilih arbitrase sebagai upaya penyelesaian perselisihan yang akan atau yang
dihadapi. Namun demikian, kadangkala pertimbangan mereka berbeda, baik ditinjau
dari segi teoritis maupun segi empiris atau kenyataan dilapangan.
DASAR HUKUM ARBITRASE
Secara
singkat sumber Hukum Arbitrase di Indonesia adalah sebagai berikut:
A. Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945
Pasal
II Aturan Peralihan UUD 1945 menentukan bahwa “semua peraturan yang ada masih
langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini.” Demikian
pula halnya dengan HIR yang diundang pada zaman Koloneal Hindia Belanda masih
tetap berlaku, karena hingga saat ini belum diadakan pengantinya yang baru
sesuai dengan Peraturan Peralihan UUD 1945 tersebut.
B. Pasal 377 HIR
Ketentuan
mengenai arbitrase dalam HIR tercantum dalam Pasal 377 HIR atau Pasal 705 RBG
yang menyatakan bahwa :
“Jika
orang Indonesia atau orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputus
oleh juru pisah atau arbitrase maka mereka wajib memenuhi peraturan pengadilan
yang berlaku bagi orang Eropah”. Sebagaimana dijelaskan di atas, peraturan
pengadilan yang berlaku bagi Bangsa Eropah yang dimaksud Pasal 377 HIR ini
adalah semua ketentuan tentang Acara Perdata yang diatur dalam RV.
C. Pasal 615 s/d 651 RV
Peraturan
mengenai arbitrase dalam RV tercantum dalam Buku ke Tiga Bab
Pertama
Pasal 615 s/d 651 RV, yang meliputi :
–
Persetujuan arbitrase dan pengangkatan para arbiter (Pasal 615 s/d 623 RV)
–
Pemeriksaan di muka arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
–
Putusan Arbitrase (Pasal 631 s/d 674 RV)
–
Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase (Pasal 641 s/d 674 RV)
–
Berakhirnya acara arbitrase (Pasal 648-651 RV)
D. Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 /1970
Setelah
Indonesia merdeka, ketentuan yang tegas memuat pengaturan lembaga arbitrase
dapat kita temukan dalam memori penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU No. 14 tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan “
Penyelesaian perkara diluar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit
atau arbitrase tetap diperbolehkan”.
E. Pasal 80 UU NO. 14/1985
Satu-satunya
undang-undang tentang Mahkamah Agung yang berlaku di Indonesia yaitu UU No.
14/1985, sama sekali tidak mengatur mengenai arbitrase. Ketentuan peralihan
yang termuat dalam Pasal 80 UU No. 14/1985, menentukan bahwa semua peraturan
pelaksana yang telah ada mengenai Mahkamah Agung, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Mahkamah
Agung ini. Dalam hal ini kita perlu merujuk kembali UU No. 1/1950 tentang
Susunan Kekuasaan dan Jalan Pengadilan Mahkamah Agung Indonesia. UU No. 1/1950
menunjuk Mahkamah Agung sebagai pengadilan yang memutus dalam tingkat yang
kedua atas putusan arbitrase mengenai sengketa yang melibatkan sejumlah uang
lebih dari Rp. 25.000,- (Pasal 15 Jo. Pasal 108 UU No. 1/1950).
F. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UU No. 1/1967 tentang Penanaman
Modal Asing
Dalam
hal ini Pasal 22 ayat (2) UU No. 1/1967 menyatakan:
“Jikalau
di antara kedua belah pihak tercapai persetujuan mengenai jumlah, macam,dan
cara pembayaran kompensasi tersebut, maka akan diadakan arbitrase yang
putusannya mengikat kedua belah pihak”.
Pasal
22 ayat (3) UU No. 1/1967 :
“Badan
arbitrase terdiri atas tiga orang yang dipilih oleh pemerintah dan pemilik
modal masing-masing satu orang, dan orang ketiga sebagai ketuanya dipilih
bersama-sama oleh pemerintah dan pemilik modal”.
G. UU No. 5/1968
yaitu
mengenai persetujuan atas “Konvensi Tentang Penyelesaian Perselisihan Antara
Negara dan Warga Asing Mengenai Penanaman Modal” atau sebagai ratifikasi atas “International
Convention On the Settlement of Investment Disputes Between States and
Nationals of Other States”.
Dengan
undang-undang ini dinyatakan bahwa pemerintah mempunyai wewenang untuk
memberikan persetujuan agar suatu perselisihan mengenai penanaman modal asing
diputus oleh International Centre for the Settlement of Investment Disputes
(ICSD) di Washington.
H. Kepres. No. 34/1981
Pemerintah
Indonesia telah mengesahkan “Convention On the Recognition and Enforcement
of Foreign Arbitral Awards” disingkat New York Convention (1958), yaitu
Konvensi Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Luar Negeri, yang
diadakan pada tanggal 10 Juni 1958 di Nww York, yang diprakarsaioleh PBB.
I. Peraturan Mahkamah Agung No. 1/1990
Selanjutnya
dengan disahkannya Konvensi New York dengan Kepres No. 34/1958 , oleh Mahkamah
Agung di keluarkan PERMA No. 1/1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan
Arbitrase Asing, pada tanggal 1 maret 1990 yang berlaku sejak tanggal di
keluarkan.
J. UU No. 30/1999
Sebagai
ketentuan yang terbaru yang mengatur lembaga arbitrase, maka
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
pemerintah mengeluarkan UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, pada tanggal 12 Agustus 1999 yang dimaksudkan untuk mengantikan peraturan mengenai lembaga arbitrase yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman dan kemajuan perdagangan internasional. Oleh karena itu ketentuan mengenai arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 615 s/d 651 RV, Pasal 377 HIR, dan Pasal 705 RBG, dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian ketentuan hukum acara dari lembaga arbitrase saat ini telah mempergunakan ketentuan yang terdapat dalam UU NO. 30/1999.
Source
:
0 komentar:
Posting Komentar